Kontribusi Generasi Muda Dalam Menghadapi Krisis Pangan Yang Mengkhawatirkan


Saat ini kita dalam situasi dan kondisi mengalami risiko ekonomi global yang tinggi, hal ini disebabkan antara lain terjadinya suku bunga yang tinggi, tensi geopolitik dunia yang tinggi (perang Russia – Ukraina dan perang Israel – Hamas), sampai kenaikan harga pangan dan pelarangan ekspor pangan di beberapa negara. Jauh hari, The State of Food Security and Nutrition in the World (SOFI) memperkirakan sekitar 690-780 juta orang di dunia akan mengalami lapar (hunger) pada tahun 2022, lebih banyak 122 juta orang dibanding sebelum pandemi Covid-19, hal ini Jauh dari target SDG’s zero hunger tahun 2030.


Di kutip dari Global Food Security Index (GFSI) tahun 2022, Indeks Ketahanan Pangan Indonesia (60,2) Tertinggal dibanding Singapura (73,1), Malaysia (69,9) dan Vietnam (67,9), padahal menurut BPS (2023) secara nasional kontribusi komponen makanan terhadap garis kemiskinan sebanyak 74,21%, berarti peranan komoditas makanan terhadap Garis Kemiskinan di Indonesia jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditas bukan makanan (25,79%).


Pada tahun 1996 silam, dalam World Food Summit, FAO memperkenalkan konsep ketahanan pangan untuk mengurangi kelaparan dunia, tetapi pada akhirnya menjadikan pangan hanya sebagai komoditas dengan industri dan korporasi skala besar sebagai aktor utama untuk mengurus dan memproduksi pangan.


Dalam hal ini, pemerintah seharusnya mempunyai peran yang sangat penting dan dominan untuk memastikan agar faktor-faktor produksi (tanah dan air), akses terhadap benih, akses terhadap pasar dan bantuan keuangan dapat dinikmati secara utuh oleh petani dan produsen pangan skala kecil dimana petani ini lah sebagai actor utama yang menghasilkan pangan di dunia, bukan korporasi, Begitu juga dengan sistem distribusi harus berorientasi terhadap kebutuhan lokal dan wilayah setempat, mengingat perdagangan dan pasar bebas yang dipromosikan oleh sistem pangan global nyatanya tidak dapat memberikan dampak kepada petani.


Di sisi lain, bidang pertanian memang tak lagi menarik minat anak muda, khususnya dari generasi Z karena menjadi petani itu bisa dibilang kadang menyakitkan. Mengapa demikian? Setelah mewawancarai secara mendalam kepada Petani Rock n Roll Bandung Raya, nyatanya pertanian itu gampang-gampang susah dilakukan selain membutuhkan modal yang besar juga dengan hasil usaha yang bisa dibilang 'tebak-tebakan'. Jika hasil bagus maka bisa menutupi modal yang bersumber dari hutang di bank ataupun dari pinjaman.


Sementara itu, kondisi di Kota Bandung dalam hal kemandirian pangan masuk dalam kondisi krisis dikarenakan 96,47% kebutuhan pangan Kota Bandung masih didatangkan dari wilayah-wilayah di luar Kota Bandung, hal ini dikarenakan keterbatasan lahan dan SDA sehingga mau tidak mau sangat bergantung dari daerah lain.


Oleh karena itu, pemerintah Kota Bandung mengeluarkan program Buruan SAE dimana dengan program ini masyarakat perkotaan selain dapat menjadi solusi untuk melepas rantai ketergantungan pangan Kota Bandung pada wilayah lain, juga sebagai solusi pengembangan sistem penanaman di wilayah padat penduduk. Tujuannya adalah membudidayakan tanaman sayuran pada lahan terbatas dan terlantar secara maksimal.


Sebagai gaya hidup, tren pertanian urban termasuk sebagai gaya hidup sehat. Hal ini dikarenakan sebagian besar pertanian urban lebih memilih menerapkan sistem penanaman organik yang tidak menggunakan pupuk kimia dan pestisida sintetis.  Dampaknya, pertanian urban dapat menjadi kegiatan produktif untuk pemberdayaan masyarakat dan menunjang perekonomian masyarakat. 


Hubungan sosial kemasyarakatan juga dapat tumbuh dengan menguatnya rasa kebersamaan dan menciptakan budaya bergotong royong di lingkungan masyarakat perkotaan, karena terdapat beberapa kelompok juga yang hasil panennya tidak dijual tapi dibagikan ke warga sekitar. 


Hal tersebut sudah dilakukan oleh Kang Fuad (Bacawalkot dari PDIP) yang sudah melakukan beberapa kegiatan bersama komunitas khususnya beternak ayam dan bercocok tanam.


"Kalau ada telur dan sayuran lebih, pasti dibagikan ke masyarakat sekitar yang membutuhkan, gratis" ujar Fuad.


Kang Ridha menambahkan, “Kalau begitu, Ketahanan Pangan seharusnya menjadi isu krusial dan prioritas dalam dokumen perencanaan pembangunan Kota Bandung karena pangan merupakan hak setiap warga negara yang harus dijaga kualitas dan kuantitasnya.


Ketersediaan pangan yang kurang dari kebutuhan dapat menyebabkan perekonomian yang tidak stabil”, ungkap Ridha.


Hal di atas juga sejalan dengan program pemerintah pusat melalui Pekarangan Pangan Lestari (P2L), dimana pemerintah membuktikan dengan menggelontorkan Dana Ketahanan Pangan dan Pertanian yaitu Dana yang dialokasikan untuk mendukung keberdayaan masyarakat memenuhi kebutuhan pangan dari hasil pekarangannya sendiri.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama